Tuesday, January 11, 2022

Covid Delta & Omicron Siap Bawa Kekacauan di Pasar!

WHO Sebut Omicron Bukan Penyakit Ringan Halaman all - Kompas.com 

 PT Equityworld Futures Medan-Mengawali perdagangan pekan ini, pasar keuangan Tanah Air tak menunjukkan pergerakan yang solid. Harga saham dan obligasi negara terkoreksi sementara nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung bergerak volatil pada perdagangan kemarin (10/1). Sempat menguat di sesi I, tetapi IHSG harus rela terpelanting ke zona merah di akhir perdagangan.

Indeks saham acuan nasional tersebut ditutup melemah 0,15% ke level 6.691,12. Padahal IHSG sempat menyentuh level 6.725 pada perdagangan intraday.


Meski terkoreksi, asing malah memanfaatkan momentum tersebut untuk melakukan aksi beli saham. Hal ini tercermin dari net buy asing di pasar reguler yang mencapai Rp 339 miliar.

IHSG justru terkoreksi ketika mayoritas bursa utama kawasan Benua Kuning menghijau. IHSG menduduki peringkat ketiga dengan kinerja harian terburuk setelah VN-Index (Vietnam) dan KOSPI (Korea) yang masing-masing ambles 1,62% dan 0,95%.

Senada dengan saham, pasar obligasi pemerintah juga mengalami koreksi. Hal ini tercermin dari yield SBN 10 tahun yang naik 4 bps menjadi 6,46%. Kenaikan yield menunjukkan bahwa harga obligasi sedang tertekan.

Saat pasar saham dan SBN melemah, kinerja rupiah paling mencolok. Baik di pasar spot maupun di kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah menguat dan menjadi juara Asia.

Data BI menunjukkan nilai tukar rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menguat 0,26% dan ditutup di Rp 14.323/US$. Sedangkan di pasar spot rupiah menunjukkan tajinya di hadapan greenback dengan menunjukkan penguatan 0,35% ke level Rp 14.305/US$.

Dari dalam negeri, BI merilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Desember 2021. Hasilnya IKK mengalami penurunan namun tipis. IKK tercatat turun 2 poin menjadi 118,3 pada bulan lalu.

"Survei Konsumen Bank Indonesia mengindikasikan optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi tetap kuat pada Desember 2021. Hal tersebut tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Desember 2021 sebesar 118,3 atau berada pada area optimis, relatif stabil dibandingkan dengan indeks pada November 2021 sebesar 118,5," tulis BI dalam Laporan Survei Konsumen yang dirilis kemarin.

Secara sentimen, volatilitas di pasar keuangan masih digerakkan oleh faktor normalisasi kebijakan moneter dan juga penyebaran Covid-19 Omicron.

Kondisi inflasi yang terus meningkat memang bakal memicu bank sentral untuk mengetatkan kebijakan moneternya lewat penurunan injeksi likuiditas dan kenaikan suku bunga.

Secara historis, siklus pengetatan moneter bukanlah kabar baik untuk pasar keuangan global. Naiknya suku bunga acuan akan membuat yield surat utang pemerintah yang sering dikenal sebagai risk free meningkat.

Kabar tak sedap kembali menghampiri bursa saham AS. Dua indeks saham acuannya kompak ditutup melemah pada perdagangan dini hari ini tadi setelah sempat ambruk lebih dari 1% pada perdagangan perdana minggu ini.
Indeks Dow Jones terkoreksi 0,45%, S&P 500 turun 0,14% sedangkan NASDAQ selamat setelah berhasil naik 0,05% karena bangkit jelang penghujung perdagangan.

Gejolak di pasar saham AS ini diakibatkan karena kenaikan imbal hasil SBN AS. Yield US Treasury 10 tahun yang menjadi acuan masih melanjutkan tren kenaikan dan mendekati level 1,8%. Padahal di akhir tahun yield masih berada di level 1,5%.


Peningkatan imbal hasil obligasi ini memicu aksi jual di pasar saham terutama pada saham-saham teknologi yang terkenal sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga di mana indeks acuan teknologi Wall Street yakni NASDAQ sempat ambruk 2,7% sebelum akhirnya selamat dari koreksi.

Di sisi lain para pelaku pasar juga masih menantikan rilis data inflasi AS bulan Desember 2021. Sebagai catatan, IHK AS pada November 2021 naik 6,8% dan menjadi kenaikan tertingginya dalam 4 dekade.

Pelaku pasar masih melihat inflasi di AS tetap membandel di penghujung tahun. Konsensus Trading Economics memperkirakan inflasi AS di akhir tahun bakal tembus 7% year-on-year (yoy).

Dikarenakan inflasi yang tetap tinggi dan seolah enggan turun, the Fed selaku bank sentral AS mulai turun tangan. Injeksi likuiditas lewat QE direm (tapering).

Lebih lanjut otoritas moneter AS tersebut juga bersiap menaikkan suku bunga acuan Federal Funds Rate (FFR) serta mengurangi porsi obligasi pada neraca (balance sheet).

The Fed diperkirakan bakal mulai menaikkan suku bunga acuannya pada Maret 2022 nanti. Jika mengacu pada dot plot the Fed, ada ruang 3x kenaikan FFR di tahun ini.

Namun Goldman Sachs memiliki pandangan bahwa the Fed akan lebih hawkish dan bisa menaikkan suku bunga hingga 4x.

Dampak ke pasar saham memang akan cenderung negatif karena kenaikan suku bunga membuat borrowing cost naik dan bisa menggerus laba emiten.

Namun secara spesifik, dampak kenaikan suku bunga ke pasar saham akan sangat bergantung pada sektor dan juga jenis saham.

"Pada awal pekan 2022 ini, tren perdagangan saham di pasar akan cenderung menunjukkan adanya rotasi dari saham-saham berbasis pertumbuhan (growth stock) ke saham-saham value stock dan sektor siklikal," tutur analis Goldman Sachs Chris Husset dalam laporan riset, yang dikutip CNBC International.
Melihat Wall Street yang galau dan yield SBN AS yang terus meningkat di tengah peluang normalisasi kebijakan the Fed tentu bukan kabar baik bagi pasar keuangan Asia dan Indonesia.
Pasar kemungkinan akan merasakan gejolak pada perdagangan hari ini. Risiko lain juga datang dari perkembangan Covid-19.

Belum juga varian Omicron tuntas, ilmuwan kembali menemukan varian baru Covid-19 yang memiliki karakteristik seperti Omicron dan Delta sehingga disebut sebagai Deltacron. Varian ini ditemukan di Siprus dan sudah ada 25 kasus.


"Saat ini ada koinfeksi Omicron dan Delta dan kami menemukan strain ini yang merupakan kombinasi dari keduanya," kata peneliti, Profesor Ilmu Biologi Universitas Siprus Leondios Kostrikis dalam sebuah wawancara dengan TV lokal, Sigma. "Penemuan itu dinamai Deltacron karena identifikasi genetik mirip Omicron."

Terkait apakah lebih berbahaya atau tidak, peneliti masih harus melakukan penelitian dan mengumpulkan lebih banyak bukti dan data untuk mengambil konklusi.

Namun sejauh ini varian Omicron telah memicu gelombang baru infeksi Covid-19 secara global dan tetap menjadi momok bagi perekonomian dunia.

Di pekan pertama Januari 2022, kasus infeksi harian Covid-19 global mengalami kenaikan yang tajam. Jika di akhir Desember kasus harian masih di kisaran 1 juta, per 8 Januari 2022 rerata kasus harian dalam sepekan sudah naik 2x menjadi 2,2 juta.

Senada dengan kenaikan kasus Covid-19 global, kasus harian di dalam negeri juga meningkat. Kasus infeksi harian Covid-19 di Indonesia sejak November sudah konsisten berada di bawah 500 kasus. Namun di pekan lalu kasus Covid-19 kembali menyentuh angka 500 kasus per hari.

Dari dalam negeri, sentimen datang dari dunia tambang batu bara. Setelah memberlakukan larangan ekspor sejak awal Januari, akhirnya Indonesia memutuskan untuk membuka keran ekspor si batu hitam.

Awalnya larangan ekspor tersebut disebabkan karena stok batu bara PLN yang rendah sehingga diharapkan para produsen fokus untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Namun seiring dengan membaiknya kondisi stok di perusahaan setrum negara akhirnya pemerintah mulai mengizinkan 14 kapal vessel pengangkut batu bara untuk diekspor sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.

"Mulai hari ini, setelah melihat kondisi pasokan di PLN yang jauh lebih baik, 14 kapal yang sudah terisi penuh batu bara dan sudah dibayar pembeli, bisa langsung dilepas untuk ekspor," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan dalam sebuah pernyataan.

Terhitung sejak larangan ekspor diberlakukan, harga batu bara acuan global terpantau mengalami kenaikan lebih dari 10% dan sempat tembus US$ 180/ton hanya dalam waktu sepekan.

Namun dengan adanya pelonggaran ekspor yang dilakukan oleh Pemerintah seperti sekarang ini, harga batu bara cenderung akan kembali turun.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Rilis data Transaksi Berjalan Korea Selatan bulan November 2021 (06.00 WIB)
Rilis data Cadangan Devisa Jepang bulan Desember 2021 (06.50 WIB)
Rilis data Neraca Dagang Australia bulan November 2021 (07.30 WIB)
Rilis data Produksi Industri Spanyol bulan November 2021 (15.00 WIB)
Rilis data Penjualan Ritel Italia bulan November 2021 (16.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator


Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51 %

Inflasi (Desember 2021, YoY)

1,87%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2021)

-4,65% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,50% PDB

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 144,9 miliar


Sumber : cnbcindonesia.com

PT Equityworld Medan
Equity world Medan


Lowongan Kerja Terbaru 2020
Loker EWF Medan

0 comments:

Post a Comment