Thursday, October 14, 2021

The Fed Sebut Tapering Mulai Tengah November, IHSG Kuat?

 Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021).  Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)PT Equityworld Futures Medan-Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan Rabu (13/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil melonjak dan menembus level psikologis 6.500, sementara nilai tukar rupiah stagnan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Adapun harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat.



IHSG ditutup melesat 0,78% ke 6.536,90, setelah konsisten berada di zona hijau sepanjang perdagangan. Nilai transaksi mencapai Rp 17,79 triliun dan asing net buy di pasar reguler Rp 1,24 triliun.



Asing borong saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Astra International Tbk (ASII) masing-masing Rp 506,3 miliar dan Rp 431,2 miliar.

Sementara itu saham yang banyak dilego asing adalah saham PT Capital Financial Indonesia Tbk (CASA) dan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) dengan net sell masing-masing mencapai Rp 299,4 miliar dan Rp 124,9 miliar.

Kemarin Dana Moneter Internasional (IMF) merilis laporan World Economic Outlook. Dalam laporan tersebut, IMF memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,1 poin persentase dibanding proyeksi bulan Juli lalu menjadi 5,9%.

IMF menilai masalah disrupsi rantai pasok di negara maju serta perkembangan pandemi yang memprihatinkan di negara berkembang menjadi pemicu utama terjadinya penurunan proyeksi pertumbuhan PDB global.

Lebih lanjut, IMF memangkas proyeksi ekonomi sebesar 1,4 poin untuk kelompok "ASEAN-5" Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Sementara, rupiah berakhir mendatar terhadap greenback AS. Melansir data dari Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 14.215/US$. Rupiah stagnan dibandingkan penutupan perdagangan Selasa lalu.

Pelaku pasar saat ini menanti rilis data inflasi AS yang dirilis Rabu malam. Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam memutuskan kapan waktu tapering serta menaikkan suku bunga.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperingatkan bank sentral di dunia seperti The Fed agar bersiap untuk menaikkan suku bunga seandaianya inflasi lepas kendali.

Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) terbaru edisi Oktober 2021, lembaga yang berkantor pusat di Washington DC itu menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi dunia 2021 kini diperkirakan 5,9%. Turun 0,1 poin persentase dibandingkan WEO edisi Julli 2021.

"Momentum pemulihan ekonomi dunia masih berlanjut, tetapi melambat. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih menjadi risiko utama," sebut WEO Oktober 2021.

Sementara itu untuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, IMF kini memperkirakan pertumbuhan 3,2% tahun ini. Turun 0,7 poin persentase dibandingkan WEO Juli 2021. Untuk 2022, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berubah di 5,9%.

"Di luar China dan India, perkiraan pertumbuhan ekonomi diturunkan karena pandemi yang mengganas," sebut WEO Oktober 2021.

Kemudian, mayoritas investor kembali ramai memburu SBN pada Rabu kemarin, ditandai dengan kembali melemahnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh SBN acuan. Hanya SBN bertenor 1 tahun yang masih dilepas oleh investor dan mengalami kenaikan yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 1 tahun menguat 2 basis poin (bp) ke level 3,197%. Sedangkan untuk yield SBN dengan tenor 25 tahun kembali stagnan di level 7,189% pada perdagangan hari ini.

Sementara, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi pemerintah berbalik melemah 3 bp ke level 6,342% pada hari ini. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Bursa saham AS alias Wall Street cenderung ditutup menguat alias rebound dari koreksi selama 3 hari terakhir, dipimpin oleh kenaikan saham raksasa seperti Amazon.com dan Microsoft.
Indeks Dow Jones ditutup datar di 34.377,81, sementara indeks S&P 500 naik 0,3% ke 4.363,85 dan Nasdaq Composite naik 0,7% ke posisi 14.571,63.

Indeks S&P 500 sempat secara singkat menambah kenaikan setelah rilis risalah dari pertemuan kebijakan The Fed September yang dirilis pada Kamis dini hari pukul 01.00 WIB.


Berdasarkan risalah tersebut, para gubernur bank sentral AS mengisyaratkan bahwa mereka dapat mulai mengurangi dukungan era krisis untuk ekonomi alias melakukan tapering secara bertahap pada pertengahan November, meskipun mereka tetap silang pendapat atas seberapa besar ancaman inflasi yang tinggi dan seberapa cepat mereka mungkin perlu menaikkan suku bunga.

Risalah pertemuan tersebut menunjukkan, para anggota merasa The Fed telah hampir mencapai tujuan ekonominya dan segera dapat mulai menormalkan kebijakan dengan mengurangi laju pembelian aset bulanannya.

Sebelumnya, laporan Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan harga konsumen meningkat solid pada September, semakin memperkuat kasus kenaikan suku bunga Fed.

Inflasi September di AS tercatat tumbuh 0,4% secara bulanan dan 5,4% secara tahunan, atau lebih tinggi dari perkiraan ekonom dalam survei Dow Jones yang memperkirakan angka pertumbuhan sebesar 0,3% secara bulanan dan 5,3% secara tahunan.

Inflasi inti tercatat naik 0,2% secara bulanan dan 4% secara tahunan, atau relatif sama seperti perkiraan yang masing-masing berujung pada angka sebesar 0,3% dan 4%.

Saham JPMorgan Chase & Co turun 2,6% meskipun pendapatan kuartal ketiga JPMorgan mengalahkan ekspektasi analis, dibantu oleh boom pembuatan kesepakatan global dan pelepasan lebih banyak cadangan kerugian pinjaman.

Saham JPMorgan turun bersama dengan saham bank lainnya dan merupakan salah satu pemberat terbesar pada S&P 500 dan Dow Jones, yang ditutup mendatar.

Musim laporan pendapatan kuartal ketiga tahun ini untuk perusahaan S&P 500 sudah dimulai pada Rabu.

"Harapan saya adalah saat kita menyimak musim pendapatan, penanda ke depan akan cukup baik sehingga kami akan menutup tahun lebih tinggi. Tapi saat ini pasar sedang dalam fase 'show-me'," kata Jim Awad, direktur pelaksana senior di Clearstead Advisors LLC di New York kepada Reuters, dikutip CNBC Indonesia (14/10).

Sementara, saham mega-caps termasuk Amazon.com Inc, induk Google Alphabet dan Microsoft Corp semuanya naik.

Analis memperkirakan perusahaan Amerika akan melaporkan pertumbuhan laba yang kuat pada kuartal ketiga, tetapi kekhawatiran investor telah meningkat tentang bagaimana masalah rantai pasokan, kekurangan tenaga kerja, dan harga energi yang lebih tinggi dapat memengaruhi bisnis yang sedang berusaha pulih dari pandemi.

Bank of America, Citigroup, Wells Fargo dan Morgan Stanley akan melaporkan hasil pada hari Kamis, sementara Goldman Sachs akan melaporkan pada hari Jumat waktu AS.
Sentimen dari luar negeri yang masih akan terus dipantau oleh investor adalah terkait kasus likuiditas perusahaan properti China, Evergrande, dan krisis energi yang melanda sejumlah negara.
Melansir Reuters, Rabu (13/10), Krisis China Evergrande memicu putaran baru penurunan peringkat kredit. Kemarin, Evergrande kembali melewatkan pembayaran obligasi internasionalnya senilai US$ 150 miliar untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu kurang dari sebulan.

Selain itu banyak pengembang properti lain yang juga menghadapi tenggat waktu pembayaran sebelum akhir tahun, senasib dengan Evergrande yang tampak semakin suram. Ini memicu kekhawatiran bahwa tekanan memicu dampak serius yang jauh lebih luas.


Sejurus dengan itu, lembaga pemeringkat S&P Global memberikan penurunan peringkat baru untuk dua perusahaan besar di sektor ini, Greenland Holdings--yang telah membangun beberapa menara perumahan tertinggi di dunia--dan E-house. S&P Global memperingatkan, hal itu dapat memangkas peringkat mereka lebih lanjut.

Evergrande yang memiliki utang mencapai US$ 300 miliar (Rp 4.290 triliun) dengan hampir sebesar US$$ 20 miliar (Rp 286 triliun) merupakan utang luar negeri, telah melewatkan pembayaran pertama bunga obligasi US$ 47,5 juta (Rp 679 miliar) pada 23 September untuk obligasi dolar 9,5% Maret 2024.

Selanjutnya perusahaan kembali melewatkan pembayaran kupon US$ 83,5 juta (Rp 1,19 triliun) pada obligasi lain seminggu kemudian, tanggal 30 September lalu.

Secara total hingga saat ini raksasa properti China tersebut telah melewatkan pembayaran hingga US$ 281 juta (Rp 4,02 triliun) terhadap surat utang luar negerinya, dan masih memiliki kewajiban lain sejumlah US$ 573 juta (Rp 8,19 triliun) yang akan jatuh tempo sebelum akhir tahun ini.

Perusahaan memiliki masa tenggang (grace period) 30 hari untuk melunasi pembayaran kupon yang belum dilunasi, menurut prospektus penawaran obligasi, yang berarti default secara formal tampaknya akan terjadi pekan depan.

Kemudian, krisis listrik yang melandai Eropa hingga China masih belum teratasi hingga saat ini, di tengah melonjaknya harga gas dunia dalam beberapa waktu terakhir.

Mengutip Reuters, di Eropa, harga gas alam kembali melonjak membuat lebih banyak utilitas untuk beralih ke batu bara dengan kandungan karbon tinggi untuk menghasilkan listrik, tepat ketika Eropa sedang giat-giatnya untuk mencoba menghentikan penggunaan bahan bakar yang berpolusi.

Harga gas yang tinggi juga telah mendorong peralihan ke minyak di Inggris, di mana batu bara menyumbang hanya 2% dari campuran listrik, dengan negara itu menghadapi pasokan listrik yang ketat pada musim dingin tahun ini.

Sementara itu di India, pemerintah setempat telah meminta kepada produsen listrik untuk mengimpor hingga 10% dari kebutuhan batu bara mereka.

Adapun di Jepang, harga listrik telah naik ke level tertingginya dalam sembilan bulan terakhir pada pekan ini karena terpengaruh dari naiknya harga global minyak, gas alam cair, dan batu bara.

Sementara itu di China, krisis energi di Negeri Panda diprediksi bakal makin parah. Pasalnya bencana banjir menghantam pusat produksi batu bara utama di China, Provinsi Shanxi.

Krisis energi, terutama listrik di sejumlah negara memang membuat pelaku pasar kembali khawatir, karena naiknya harga gas alam yang menjadi pemicu utamanya dapat menggerakkan harga energi lainnya seperti batu bara dan minyak.

Hal ini juga menjadi kekhawatiran yang berlanjut, di mana jika permintaan terus melonjak dan membuat harga juga terus melonjak, maka inflasi akan semakin tinggi dan tentunya akan berlangsung lama.

Jika inflasi global meninggi, maka sikap pelaku pasar global yang sebelumnya sempat optimis kini kembali pesimis.

Risalah The Fed, Inflasi China hingga Data Stok Minyak AS

Selain kedua sentimen di atas, investor juga akan menyimak sejumlah sentimen berikut ini.

Pertama, sentimen soal The Fed yang merilis risalah dari pertemuan kebijakan terakhirnya (FOMC) pada hari Kamis dini hari (01.00 WIB).

Berdasarkan risalah tersebut, para gubernur bank sentral AS mengisyaratkan bahwa mereka dapat mulai mengurangi dukungan era krisis untuk ekonomi alias melakukan tapering secara bertahap pada pertengahan November, meskipun mereka tetap bersilang pendapat atas seberapa besar ancaman inflasi yang tinggi dan seberapa cepat mereka mungkin perlu menaikkan suku bunga.

Risalah pertemuan tersebut menunjukkan, para anggota merasa The Fed telah hampir mencapai tujuan ekonominya dan segera dapat mulai menormalkan kebijakan dengan mengurangi laju pembelian aset bulanannya.

The Fed sendiri selanjutnya akan melakukan pertemuan pada 2-3 November 2021.

Dalam proses yang dikenal sebagai tapering ini, The Fed akan mengurangi pembelian obligasi senilai US$ 120 miliar per bulan secara bertahap. Risalah menunjukkan, bank sentral mungkin akan mulai dengan memangkas US$ 10 miliar pembelian obligasi (Treasury) dan US$ 5 miliar pembelian mortgage-backed securities (MBS) atau efek beragun aset KPR. The Fed saat ini membeli setidaknya US$ 80 miliar di Treasury dan US$ 40 miliar di MBS.

Artinya, jika The Fed konsisten setiap bulannya melakukan tapering US$ 10 miliar untuk Treasury dan US$ 5 miliar untuk MBS, maka nilai quantitative easing baru akan nol dalam tempo 8 bulan atau pertengahan 2022.

"Peserta rapat mencatat bahwa jika keputusan untuk memulai pengurangan pembelian aset (tapering) terjadi pada pertemuan berikutnya, proses pengurangan dapat dimulai dengan kalender pembelian bulanan yang dimulai pada pertengahan November atau pertengahan Desember," kata ringkasan tersebut dilansir CNBC Internasional, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (14/10/2021).

Inflasi September di AS tercatat tumbuh 0,4% secara bulanan dan 5,4% secara tahunan, atau lebih tinggi dari perkiraan ekonom dalam survei Dow Jones yang memperkirakan angka pertumbuhan sebesar 0,3% secara bulanan dan 5,3% secara tahunan.

Inflasi inti tercatat naik 0,2% secara bulanan dan 4% secara tahunan, atau relatif sama seperti perkiraan yang masing-masing berujung pada angka sebesar 0,3% dan 4%.

Kedua, China bakal merilis data inflasi per September yang diprediksi naik 0,8% secara bulanan dan 0,1% secara tahunan. Keduanya sama seperti angka inflasi pada Agustus. Kemungkinan tidak akan ada kejutan karena Negeri Tirai Bambu dikenal kuat menjaga inflasi.

 



 

Kemudian, ketiga, AS akan merilis klaim tunjangan pengangguran mingguan, menjadi sentimen mayor lainnya yang perlu diperhatikan. Angka klaim tunjangan pengangguran baru ini diramal akan membaik ke angka 315.000 jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya sebanyak 326.000 klaim.

 



 

Lalu, keempat, data stok minyak mentah dan minyak olahan AS versi Energy Information Agency (EIA) juga perlu dipantau, untuk mengetahui apakah stok di AS berkurang drastis yang mengindikasikan meningkatnya permintaan jelang musim dingin. Sentimen ini akan memberi gambaran apakah reli harga minyak dan batu bara bakal terus berlangsung dalam jangka menengah.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Risalah pertemuan rapat The Fed (01.00 WIB)

Indeks keyakinan konsumen Australia per Oktober (06.30 WIB)


Tingkat pengangguran Australia per September (07.30 WIB)

Laju inflasi China per September (08.30 WIB)

Klaim tunjangan pengangguran AS per 9 Oktober (19.30 WIB)

Data stok minyak mentah dan minyak olahan EIA AS (22.00 WIB)

Berikut beberapa agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:

Cum date dividen tunai PT Victoria Care Indonesia Tbk/VICI

Cum date dividen tunai PT Astra Graphia Tbk/ASGR

RUPST & RUPSLB PT Eterindo Wahanatama/ETWA (09.30 WIB)

RUPSLB PT Trinitan Metals and Minerals/PURE (10.00 WIB)



Sumber : cnbcindonesia.com

PT Equityworld Medan
Equity world Medan


Lowongan Kerja Terbaru 2020
Loker EWF Medan

0 comments:

Post a Comment