Equity World Medan - Lain dulu, lain sekarang. Boleh jadi, peribahasa itu tepat untuk bisa menggambarkan nasib Herbert Munthe.
Pria yang dahulu bekerja di salah satu perusahaan pengeboran minyak
dan gas (migas) di Balikpapan itu kini malah alih profesi berjualan air
isi ulang.
Dikisahkan Kaltim.tribunnews.com, Rabu (27/4/2016), pria
berusia 46 tahun itu terpaksa banting setir dengan berjualan air isi
ulang akibat terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Padahal, waktu itu
karier Herbet sedang bagus-bagusnya sebagai supervisor bidang logistik.
"Pada
2015, harga minyak dunia mulai turun, jadi banyak PHK di kantor. Saya
juga ikut kena, karena masa kerja saya baru 5 tahun. Ya, sudah saya
terpaksa pakai uang pesangon buat usaha air isi ulang," ujar ayah tiga
anak itu.
Lewat usaha tersebut Herbet bisa mengantongi pendapatan Rp 150.000
per hari. Memang, angka itu masih jauh dari total pendapatan yang dulu
dia terima sebagai supervisor, yaitu Rp 8 juta per bulan.
Meski
demikian, dia sangat bersyukur karena bisa mendapatkan penghasilan guna
memenuhi kebutuhan keluarga. Tak seperti beberapa rekan-rekannya yang
terkena PHK malah masih menganggur karena tak pandai memanfaatkan uang
pesangon.
Masa kelam industri migas
Cerita
nyata Herbert Munthe bisa saja terjadi pada banyak mantan pekerja di
industri migas. Jatuhnya harga minyak dalam tiga tahun terakhir telah
membawa industri ini masuk masa kelam.
Data bloomberg.com,
Selasa (16/5/2017), mencatat harga minyak dunia 49,25 dollar AS per
barrel—berdasarkan standarisasi West Texas Intermediate (WTI). Nilai itu
masih jauh bila dibandingkan pada 2014, saat harga masih tinggi yaitu
berkisar di 100 dollar AS per barrel.
Harga minyak mentah berada di nilai terendah pada Selasa (2/8/2016), ketika menyentuh 39.51 dollar AS per barrel.
Penurunan
harga minyak dunia memang menjadi pukulan telak bagi industri migas. Di
tengah biaya produksi migas yang tinggi, kondisi itu membuat kegiatan
ekplorasi di hulu migas menjadi tidak menguntungkan.
Terlebih lagi, untuk proyek migas di lepas pantai atau offshore yang membutuhkan biaya lebih besar dari proyek migas di daratan atau onshore.
Maka dari itu, jangan heran kalau banyak perusahaan migas di dunia yang mengurangi pegawainya. Contoh BP, seperti dimuat CNN Money, Selasa(2/2/2016), perusahaan minyak asal Inggris ini mem-PHK 7.000 karyawannya.
Kebijakan serupa juga dilakukan Schumberger. Menurut sumber tersebut,
perusahaan migas dari negeri Paman Sam itu telah merumahkan 10.000
pekerja akibat menelan kerugian sebesar 1 miliar dollar AS.
Di dalam negeri, meski belum ada data resmi namun tren pengurangan
karyawan di industri migas telah terbukti adanya. Hal ini, dibenarkan
Ketua Penyelenggara The 41st IPA Convention & Exhibition 2017,
Michael C Putra saat berkunjung ke Kompas.com pada Jumat (12/5/2017).
Kata dia, berdasarkan data Indonesian Petroleum Association (IPA)
Convention & Exhibition tahun lalu ada sekitar 50.000 pekerja migas
yang diberhentikan. Mereka berasal dari perusahaan kontraktor migas, sub
kontraktor migas dan perusahaan sub-sub lainnya.
"Dibandingkan pada 2015, investasi migas di Indonesia tahun ini turun
5 milliar dollar AS. Makanya banyak pengurangan karyawan di Industri
migas," papar Michael .
Tantangan dalam negeri
Selain faktor global penurunan harga minyak, ada berbagai macam
tantangan yang membuat industri migas dalam negeri menjadi tak lagi
menarik. Proses perizinan ekplorasi di hulu migas yang panjang dan tak
pasti adalah salah satunya.
Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan (SKK) Migas menyatakan,
saat ini ada 373 perizinan yang tersebar di 19 instansi kementerian,
BUMN, dan swasta.
Perizinan itu sendiri terbagi dalam empat tahapan. Pertama, fase
survei dan eksplorasi terdiri dari 117 perizinan. Kedua, pengembangan
dan konstruksi 137 perijinan. Lalu, ketiga produksi 109 perijinan dan
terakhir pasca operasi, 10 perizinan.
"Kalau proses perizinannya panjang juga bisa bikin cash flow
atau aliran keuangan perusahaan migas negatif sehingga tidak
menguntungkan," ungkap Director IPA Ignatius Tenny Wibowo yang juga ikut
saat berkunjung ke Kompas.com pada Jumat (12/5/2017).
Masalah bertambah runyam karena alur pengurusan izin juga tak jelas.
Sudah begitu, waktu yang dihabiskan untuk mengurus juga lama sehingga
tidak ada kepastian.
"Yang bikin sulit dan sebal itu aturannya. Misalkan lama mengurus
izin i20 hari, tapi kenapa bisa sampai 300 hari," kata Michael.
Oleh karena itu, dia pun berharap agar The 41st IPA Convention & Exhibition yang berlangsung dari17-19 Mei 2017 bisa membuat Indonesia kembali dilirik investor migas.
Sebagai informasi, event yang terselenggara berkat kerjasama IPA dan
Dyandra itu akan menghasilkan masukan dan rekomendasi bagi pemerintah
Indonesia dalam memperbaiki industri hulu migas.
Ya, semoga event tersebut menjadi momentum kebangkitan industri hulu migas tanah air.
0 comments:
Post a Comment