Equityworld Futures Medan :
asumsi kurs rupiah pada rentang Rp 12.200-Rp 12.800 per dolar AS di tahun ini.
Bank Indonesia (BI) membeberkan akar permasalahan yang
mengakibatkan nilai rukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika
Serikat (AS). Tak heran bila Bank Sentral memperkirakan
Gubernur BI, Agus DW Martowardojo menyebut, persoalan pertama, Indonesia membukukan defisit neraca transaksi berjalan (
current account deficit/CAD)
pada 2013 sebesar US$ 29 miliar dan susut menjadi US$ 25 miliar pada
2014. Rapor merah defisit juga ada di neraca perdagangan Indonesia.
"Semua negara ASEAN surplus, kecuali Indonesia defisit. Kondisi ini nggak memungkinkan
nilai tukar rupiah jadi
lebih kuat, apalagi ekonomi Tiongkok melemah sehingga memicu penurunan
harga komoditas dan bikin rupiah tertekan," jelas dia di Gedung DPR,
Jakarta, Kamis (22/1/2015) malam.
Dari catatan Agus, kurs rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS
sebesar 1,7 persen di 2014. Masih jauh lebih rendah dibanding pelemahan
nilai tukar mata uang dolar Singapura 4 persen, Malaysia 6 persen.
Problem kedua, sebut dia, karena pengaruh utang luar negeri
(ULN) swasta yang lebih tinggi dibanding ULN pemerintah tanpa lindung
nilai (
hedging). ULN swasta mencapai US$ 161 miliar dan ULN pemerintah US$ 133 miliar.
"Risikonya nilai tukar rupiah menjadi likuiditas
over leverage kalau terjadi perubahan," ujarnya.
Bambang menambahkan, permasalahan ketiga kedalaman pasar keuangan
di Indonesia masih sangat dangkal sehingga apabila ada
lonjakan permintaan dolar AS, terjadi guncangan karena suplai kurang
memadai.
Selain itu Undang-undang (UU) lalu lintas devisa di
Indonesia diberikan kebebasan. Tidak seperti di Thailand dan Singapura
di mana devisa hasil ekspor ditahan beberapa bulan atau ditukar ke mata
uang mereka.
Di samping itu, BI sambung Agus, pemerintah akan menjaga inflasi
di bawah 4 plus minus 1 persen melalui reformasi struktural
mengingat problem mendasar kurs rupiah terkait pula dengan subsidi bahan
bakar minyak (BBM).
"Selama 20 tahun terakhir, isu kita cuma subsidi BBM dan listrik,
pembangunan infrastruktur, perizinan termasuk anti korupsi. Reformasi
struktural kita mencabut subsidi Premium dan subsidi tetap Solar
sehingga ini dihormati dunia. Tinggal apa benar penghematan ini bisa
dialihkan ke sektor produktif," cetus dia.
Sementara persoalan kelima, kata dia, datang dari
normalisasi kebijakan moneter di AS sehingga berpeluang memacu penguatan
dolar AS.
"Kita harus perbaiki CAD, karena agak sulit menjaga
kurs rupiah di level stabil kalau masihseperti ini," ucap Agus. (Fik/Ndw)