Friday, June 18, 2021

Usai Jiper Soal The Fed, Pasar Hadapi Dua Situasi Buruk Ini


 PT Equityworld Futures Medan-Pelaku pasar berada dalam kewaspadaan pada Kamis (17/6/2021) terlihat dari koreksi di bursa saham, pasar uang, sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah menguat. Hari ini, tekanan masih besar terutama dipicu kabar buruk pandemi.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup dengan depresiasi 10,1 poin (+0,17%) ke 6.068,44 setelah nyaris sepanjang hari berada di zona merah. Tercatat 327 saham terkoreksi, 179 lain terapresiasi, dan 145 sisanya stagnan.


Nilai transaksi tercatat meningkat sebesar Rp 13,5 triliun, dibandingkan dengan posisi Rabu (Rp 12 triliun). Namun, kekhawatiran seputar taper tantrum-berupa kaburnya dana asing ke negara maju-justru menerpa pemodal lokal, mengingat investor asing malah mencetak pembelian bersih (net buy) Rp 181 miliar di pasar reguler.


Para pemodal asing tersebut terutama melakukan pembelian di saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) sebesar Rp 133 miliar dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 126 miliar. Sebaliknya, penjualan terjadi pada saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang dilego Rp 36 miliar dan PT BFI Finance Tbk (BFIN) senilai Rp 34 miliar.


Koreksi IHSG mengikuti tren global dan regional, mengingat mayoritas bursa Asia kemarin juga melemah, kecuali bursa Hong Kong dan China yang bertahan di jalur hijau menyambut rilis data ekspor China per Mei yang melaporkan lonjakan ekspor sebesar 27,9% secara tahunan.


Koreksi terjadi merespons pengumuman bank sentral Amerika Serikat (AS) yang menaikkan ekspektasi inflasi pada tahun 2021 dan memperkirakan penaikan suku bunga acuan bisa dilakukan pada 2023.


Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) tak mengubah suku bunga acuannya (Fed Funds Rate) di level mendekati nol, yakni 0-0,25%, tetapi mengindikasikan bahwa kenaikan bisa terjadi secepatnya pada 2023 sebanyak dua kali.


Padahal pada Maret lalu, Ketua The Fed, Jerome Powell menyatakan tidak akan ada kenaikan suku bunga acuan setidaknya sampai dengan 2024. Dokumen dot plot yang menunjukkan ekspektasi anggota FOMC mengindikasikan bahwa kenaikan bisa terjadi dua kali pada 2023.


Di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), sesuai dengan ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate ditahan di 3,5%.


Namun, investor di pasar uang memilih posisi short (jual) rupiah, sehingga kurs Mata Uang Garuda itu sempat anjlok nyaris 1% mendekati Rp 14.400/US$. Di penutupan perdagangan, rupiah melemah 0,81% ke Rp 14.350/US$, yang juga merupakan terburuk di Asia. Mata Uang Tanah Air ini sudah melemah 4 hari beruntun.


Sementara itu, harga mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah kecuali SBN berjangka pendek tenor 1 tahun dan 3 tahun. Yield SBN bertenor 1 tahun turun 1,9 basis poin (bp) ke 3,5% sedangkan SBN berjatuh tempo 3 tahun turun 6,3 bp ke 4,494%.


Sebaliknya, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan acuan pasar naik 1,6 bp ke 6,476%. Yield berlawanan arah dari harga sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.


Bursa saham Amerika Serikat (AS) berakhir di zona merah pada perdagangan Kamis (17/6/2021), karena investor masih khawatir melihat perubahan rencana pengetatan moneter bank sentral AS dan kenaikan proyeksi inflasi sementara klaim pengangguran memburuk.

Departemen Tenaga Kerja melaporkan bahwa klaim tunjangan pengangguran pekan lalu sebesar 412.000 unit, atau bertambah dari posisi sepekan sebelumnya 375.000, dan masih lebih buruk dari ekspektasi Dow Jones sebanyak 360.000.


Indeks S&P 500 pun melemah 0,4% ke 4.221,86 karena pasar masih jiper setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terindikasi akan menaikkan suku bunga acuan hingga dua kali pada 2023. Padahal sebelumnya pada Maret mereka menyebutkan akan menaikkan suku bunga acuan secepatnya pada 2024.




Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) juga memperkirakan inflasi tahun ini bakal lebih tinggi dari perkiraan semula, menjadi 3,4% atau jauh di atas target jangka panjangnya sebesar 2%. Inflasi yang tinggi ini menjadi pemicu The Fed menjadi lebih agresif (hawkish)menaikkan suku bunga.


Indeks Dow Jones Industrial Average merosot 210 poin (-0,6%) menjadi 33.823,45 dipicu ambruknya saham komoditas seperti Dow yang terbanting 3%. Saham-saham komoditas tertekan karena suku bunga yang tinggi akan menekan reli pasar komoditas, sementara China berusaha menekan harga komoditas dunia untuk mencegah lonjakan inflasi.


"Komoditas telah menjadi investasi populer tahun lalu karena investor telah mengoleksinya untuk lindung nilai terhadap inflasi. Kemungkinan banyak investor yang terpengaruh dengan hasil rapat The Fed dan respon dolar AS memicu mereka menimbang-nimbang ulang," tutur Jim Paulsen, Kepala Perencana Investasi Leuthold Group, kepada CNBC International.


Namun, Nasdaq menguat 0,87% menjadi 14.161,35 dipicu aksi buru saham teknologi. Saham Tesla melompat 1,9%, Amazon melesat 2,2% sedangkan Facebook loncat 1,6%. Saham perbankan seperti Wells Fargo dan Citigroup juga naik karena kenaikan Fed Funds Rate bagi perbankan berarti kenaikan margin keuntungan yang bisa didapatkan ke depannya.


Powell tak memberikan acuan mengenai kapan pengurangan pembelian (tapering) obligasi dari pasar sekunder bakal dimulai. Dia hanya menyatakan bahwa pemulihan ekonomi terus dipantau dan akan membuat "pemberitahuan awal" sebelum mengumumkan kebijakan tersebut.


Bagi legenda hedge fund David Tepper kepada CNBC International, The Fed sudah melakukan kebijakan yang bagus dan "pasar saham masih baik-baik saja untuk sekarang." Faktanya, indeks S&P 500 hanya terpaut 1% dari level tertinggi sepanjang masa.


Kemarin investor khawatir menghadapi indikasi bank sentral AS bakal mempercepat kenaikan suku bunga acuan (Fed Funds Rate) dari 2024 menjadi 2023, dua kali pula. Kekhawatiran tersebut selayaknya mereda karena sebuah indikasi bukanlah kebijakan. Ia hanya mengarahkan sentimen, sehingga mempengaruhi realitas pasar, meski belum menjadi nyata.

Investor semestinya sadar bahwa risiko terbesar 'inflasi dan suku bunga tinggi AS' terhadap pasar modal nasional adalah fenomena pembalikan modal (capital outflow), yang kita kenal sebagai taper tantrum di mana Federal Reserve (The Fed) mengurangi pembelian obligasinya di pasar karena menilai ekonomi AS membaik dan sudah tak perlu disuntik dengan likuiditas.


Banyak yang terlupa menangkap sinyal lain yang lebih penting dari keriuhan The Fed kemarin, yakni pembalikan arah kebijakan The Fed berarti ekonomi AS membaik. Ketika ekonomi Negara Adidaya ini membaik maka dampak positifnya akan berantai ke seluruh dunia. Eksesnya bagi pasar modal, adalah dana panas yang membanjir-akibat suntikan The Fed-bakal mudik.




Ketika dana keluar dari pasar modal negara berkembang, termasuk Indonesia, maka terjadilah koreksi. Namun ada satu flaw yang membuat kekhawatiran Kamis kemarin jadi lebai: dana asing belum berbalik. Di bursa saham malah ada net buy asing ratusan miliar.


The Fed sendiri terlihat belajar dari kesalahan 2013 dengan bakal mengadakan "pemberitahuan awal" rencana tapering. Ada peluang besar tapering ke depan tak akan berujung pada tantrum, melainkan tranquility.


Jadi, jelas bahwa arah kebijakan The Fed semestinya secara fundamental dipandang lebih positif, dan tidak membahayakan ekonomi global. Namun, bukan berarti IHSG hari ini bakal menguat. Ekses ke pasar global masih ada dari sisi penguatan dolar AS yang menekan pasar komoditas.


Maklum saja, komoditas diperdagangkan dalam dolar AS, sehingga ketika dolar AS makin mahal maka ongkos untuk membelinya jadi lebih mahal, sehingga permintaan cenderung tertekan. Inilah risiko yang membayangi pasar di perdagangan penghujung pekan.


Indeks dolar, yang mengukur nilai tukar mata uang AS tersebut terhadap mitra dagang utamanya, melompat 1,6% sejak The Fed mengumumkan hasil rapatnya dini hari kemarin. Selain karena dolar AS yang menguat, rontoknya komoditas terjadi setelah China berusaha mengintervensi harga, demi menjaga inflasi di Negeri Panda tidak melejit.


Harga kontrak komoditas yang mengalami tekanan terbesar adalah paladium yang anjlok lebih dari 11% dan platinum yang drop 7% lebih. Harga emas drop 4% lebih ke US$1.774,8 per troy ons. Timah dan nikel tertekan 2%, masing-masing menjadi US$30,275 dan US$ 17.202,5 per ton. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ikut drop 1% ke RM3.370/ton.


Ini menjadi kabar buruk bagi emiten komoditas terutama emiten logam mineral yang memproduksi nikel dan emas. Emiten energi cenderung variatif karena harga minyak yang turun lebih dari 1% tak diikuti oleh harga batu bara yang masih menguat 1% lebih ke US$ 118,4/ton.


"Rumor sejak Maret bahwa State Reserve Bureau (SRB) China akan melepas cadangan logam non-besi ke pasar akhirnya terbukti pada 16 Juni. Ditambahi dengan kebijakan The Fed pada 17 Juni (merespons indeks PPI Mei) maka harga saham material anjlok, hingga 5-10%," tulis firma investasi Jefferies dalam laporan risetnya.


Di luar itu, ada kabar buruk dari dalam negeri seputar penanganan pandemi. Per Kamis kemarin, Kementerian Kesehatan melaporkan total pasien positif corona di Tanah Air mencapai 1.950.276 orang, bertambah 12.624 orang dari hari sebelumnya, menjadi kenaikan harian tertinggi sejak 30 Januari 2021.


Perkembangan ini membuat rata-rata tambahan pasien positif dalam 14 hari terakhir menjadi 8.082 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 5.588 orang setiap harinya. Fasilitas Kesehatan di Indonesia pun diprediksi bisa tumbang dalam waktu 2-4 minggu. Ini dapat terjadi jika pengendalian pandemi tanah air tidak diperketat.


Jika kondisinya tak terkendali, maka pemerintah berpeluang melakukan pengetatan aktivitas masyarakat, yang bakal berujung pada tersendatnya kembali aktivitas ekonomi dan memicu kontraksi berkelanjutan pada kuartal II-2021.


"Jika tak ada containment, tidak ada pengendalian yang tepat dan cepat saya bisa katakan 2 minggu sampai 1 bulan lagi kita sudah akan kolaps," kata Kabid Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Masdalina Pane di kanal Youtube BNPB, Kamis (17/6/2021).


Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

Penjualan otomotif Indonesia per Mei (tentatif)

Inflasi Jepang per Mei (06:30 WIB)

Pengumuman suku bunga acuan Jepang per Mei (10:00 WIB)

Penjualan ritel Inggris per Mei (13:00 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten yang akan berlangsung hari ini:


RUPST PT Mandom Indonesia Tbk/TCID (09:00 WIB)

RUPST PT Kobexindo Tractors Tbk/KOBX (09:00 WIB)

RUPST PT Pelangi Indah Canindo Tbk/PICO (10:00 WIB)

RUPST PT Voksel Electric Tbk/VOKS (14:00 WIB)

RUPST PT Tunas Ridean Tbk/TURI (14:00 WIB)

RUPST PT Selamat Sempurna Tbk/SMSM (14:00 WIB)

RUPSLB PT Rockfields Properti Indonesia Tbk/ROCK(14:00 WIB)

RUPST PT Buana Finance Tbk/BBLD (14:00 WIB)


Sumber : cnbcindonesia.com


PT Equityworld Medan

Equity world Medan


Lowongan Kerja Terbaru 2020

Loker EWF Medan

0 comments:

Post a Comment