Monday, August 7, 2017

Krisis Uang Tunai Dorong Warga Libya Gunakan Uang Virtual

Warga asing berbodong-bondong meninggalkan Libya melintasi pebatasan Ras Jedir, Minggu (3/8/2014), namun dari 13.000 warga Fiipina hanya 1.700-an yang bersedia dievakuasi karena takut kehilangan pekerjaan di Libya.
Equity World Medan - Krisis uang menghantam Libya, negara di Afrika Utara yang terkoyak akibat perang. Banyak warga terpaksa harus antri berhari-hari untuk bisa menarik uang dari tabungannya.

Untungnya, ada sistem elektronik yang dibuat untuk mengatasi keadaan tersebut, yakni saat uang kas sangat langka.

Fayez Fadlallah, 35 tahun, menggunakan aplikasi dari ponselnya untuk membayar satu troli penuh sayuran di supermarket besar di Benghazi.

"Saat ini saya tidak memiliki waktu antri berhari-hari di bank untuk menarik uang. Uang virtual menyelesaikan masalah tersebut," kata dia, seperti dikutip dari AFP.

Seperti diketahui, Libya merupakan negara penuh dengan tahun-tahun kekerasan dan kekacauan politik sejak 2011 semenjak NATO membunuh diktaktor Moamer Kadhafi. Institusi Libya masuk dalam zona krisis semenjak itu, termasuk bank sentral Libya.

(Baca: Libya Pompa Lebih Banyak, Harga Minyak Turun)

Kemudian semenjak 2014, Libya terbelah dua, di barat dan timur. Hasil krisis ini memicu inflasi, banyak orang antri berhari-hari untuk menguangkan gajinya.

Sebagai respon atas hal itu, pihak bank merilis aplikasi uang virtual. Di Benghazi, Bank Perdagangan dan Pembangunan Libya, serta Wahda Bank merilis aplikasi Edfali dan MobiCash.

Aplikasi dompet elektronik ini membantu nasabahnya mengakses pembelian barang-barang, membayar restoran, mengakses obat-obatan dan rumah sakit.

Kendala

Namun, tidak semua warga bergembira dengan berlakunya aplikasi ini. Sebab, sistem uang virtual tersebut kadang tak berfungsi. Sehingga, masih banyak pekerja yang memilih antri di bank untuk menguangkan gajinya ketimbang menggunakan uang virtual.

Juru bicara Wahda Bank, al-Motassem al-Fitouri mengatakan, transaksi melalui MobiCash sangat aman. "Bahkan tidak perlu ponsel pintar untuk menjalankan transaksi ini, merchant juga tidak perlu punya mesin point of sale (POS)," kata dia.

Perbankan sadar bahwa sistem pembayaran virtual ini rentan. Bank Perdagangan dan Pembangunan Libya bahkan mengimbau nasabahnya untuk melaporkan adanya kenaikan harga pada pembayaran melalui Edfali.

Adanya ketidakpastian kenaikan harga membuat para pebisnis yang semula senang dengan adanya layanan ini, kemudian memilih meninggalkan Edfali. "Bank tidak menghormati komitmen," kata Salah al-Agouri, pebisnis yang kliennya membayar dirinya menggunakan Edfali.

"Dulu bank meyakinkan kami bisa menarik 25 persen dari nilai penjualan melalui layanan ini. Tetapi ternyata tidak bisa," lanjutnya.

Sumber: Kompas.com

PT Equityworld Futures
EWF Medan

0 comments:

Post a Comment